Memanusiakan Diri Sendiri
Bismillah,
Sore ini, di tengah hiruk-pikuk kendaraan yang dikendarai oleh individu-individu yang merindukan kehangatan rumah. Di atas motor yang dikendarai oleh bapak gojek yang baik hati.
Hari ini, aku mengisi serangkaian soal mengenai teori perkembangan manusia. Setelah ujian dan berbincang-bincang dengan teman-teman, akhirnya aku menyadari sesuatu.
Teori etologi, mengenai perkembangan manusia dalam konteks evolusi. Ditemukan bahwa embrio berbagai spesies makhluk hidup, sebenarnya memiliki bentuk awal yang mirip atau bahkan sama. Sehingga pada ahli teori ini menyatakan bahwa seluruh organisme memiliki nenek moyang yang sama. Teori ini juga membahas mengenai perilaku instingtual pada hewan dan manusia, perilaku yang muncul tanpa kita pelajari.
Pada materi lain, mengenai decision making. Dinyatakan bahwa semua mamalia memiliki kemampuan dasar untuk mencari sesuatu yang menyenangkan dan menghindari hal-hal yang menyakitkan.
Maka ada hikmah di balik terciptanya hewan-hewan di antara umat manusia. Bahwa bukan pernyataan para ahli maupun bukti-bukti yang menjadikan kita berbeda dari hewan atau spesies lain, tapi diri kita sendiri. Manusia punya kekuatan untuk menahan dorongan-dorongan alamiah dan memilih untuk fokus pada tujuan esensial kita.
Ternyata, yang mengekang bukanlah aturan-aturan atau syariat-syariat. Tapi dorongan-dorongan instingtif yang mengekang kita. Pada dasarnya manusia diciptakan untuk beribadah. Maka ujiannya adalah dorongan-dorongan dalam diri kita yang mengaburkan tujuan-tujuan itu. Karena terkadang, dorongan untuk merasa puas dan bersenang-senang menahan kita untuk bisa mencapai tujuan itu. Maka dengan syariat, manusia didorong untuk berpikir, melakukan segalanya atas dasar ibadah, dan menjalani hidup dengan lebih sehat dan lebih baik.
Maka manusia paling kuat adalah mereka yang bisa MEMILIH. Memilih untuk berjuang menjalankan syariat, daripada tunduk pada dorongan-dorongan untuk meraih kepuasan sementara. Mereka yang bisa melihat peluang, hikmah, dan keindahan di balik syariat yang mereka jalankan. Islam pun tidak sepenuhnya melarang kita memenuhi dorongan dalam diri kita, namun, ada tata cara yang telah ditentukan untuk mengendalikan dan membuat dorongan-dorongan dalam diri kita menjadi sesuatu yang bermanfaat dan tidak merusak bagi diri sendiri dan keberlangsungan umat manusia.
Mengutip dari buku Man's Search For Meaning yang ditulis oleh Victor E. Frank, bahwa "Kebahagiaan tidak dapat dikejar; ia niscaya akan terjadi, dan hanya terjadi sebagai efek samping dari pengabdian pada tujuan yang lebih besar ketimbang (kepentingan) diri sendiri atau sebagai hasil samping dari pelayanan seseorang pada yang selain dirinya sendiri."
Seperti itulah bahagia, bukan kita yang harus mengejar kebahagiaan, namun kebahagiaan itu adalah efek dari pengabdian kita pada tujuan yang lebih besar, yaitu beribadah dan mencari ridho-Nya.
Dalam Al-Qur'an beberapa kali disebutkan perintah untuk berpikir. Akal, sebagai potensi yang membedakan manusia dari manusia lain, haruslah kita gunakan untuk mengendalikan dan mengarahkan setiap perilaku kita untuk beribadah kepada Allah SWT. Dengan memanfaatkan secara maksimal potensi akal kita, maka kita telah memanusiakan diri sendiri, karena kita berbeda dari makhluk yang lain, kita dapat berpikir, kita dapat memilih.
Aku yang menulis ini pun sebenarnya hanyalah manusia yang masih belum bisa menguasai sepenuhnya diri sendiri. Tapi memang tujuan utama tulisan ini dibuat adalah untuk menjadi pengingat untuk diri aku sendiri. Kalo ada konsep atau pemahaman yang mungkin tidak sesuai boleh disampaikan di kolom komentar, semua masukan sangat berharga buat aku.
Semoga bermanfaat.
Comments
Post a Comment